Selasa, 24 November 2015

MAKALAH SURAT AL MAUN 1-7

MAKALAH
“Surat Al Ma’un”
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata kuliah  
 “Studi al-Qur’an“



Di Susun Oleh:
Ulfa Kartika F.                (210314036)
Wahyu Nurjannah          (210314027)
Yusuf Eko Dariyanto     (210314034)
                                         
Dosen Pengampu:
Umar Sidiq, M. AG.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN TARBIYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
 (STAIN) PONOROGO
2015



A.    Surat Al Ma’un

 |M÷ƒuäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ムÉúïÏe$!$$Î/ ÇÊÈ   šÏ9ºxsù Ï%©!$# íßtƒ zOŠÏKuŠø9$# ÇËÈ   Ÿwur Ùçts 4n?tã ÏQ$yèsÛ ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÌÈ   ×@÷ƒuqsù šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ   tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ   tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#tãƒ ÇÏÈ   tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ  
B.     Terjemah[1]
(1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari pembalasan ?. (2) Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, (3) dan tidak mendorong  memberi makan orang miskin. (4) Maka celakaanlah orang yang shalat, (5) (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, (6) yang berbuat riya, (7) dan enggan (memberi) bantuan.

C.    Asbab An Nuzul
Ayat 1-3 turun dilatarbelakangi suatu kejadian yaitu ketika seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih itu namun ia tidak diberinya bahkan dihardik dan diusir.[2]
     Ayat 4-7 turun berkenaan dengan kaum Munafikin yang suka mempertontonkan shalat (riya’) kepada kaum Mukminin dan meninggalkannya apabila tidak ada yang melihatnya serta menolak memberikan bantuan ataupun pinjaman. Ayat ini turun sebagai peringatan kepada orang-orang yang berbuat seperti itu.[3]

D.    Mufradaat
>Éjs3ム              :         mendustakan atau mengingkari[4]
úïÏe$!#            :         agama , kepatuhan dan pembalasan
íßtƒ                 :           mendorong dengan keras
OŠÏKuŠø9#               :         kesendirian
Ùçts                :         menganjurkan
Q$yèsÛ               :         makanan atau pangan
@÷ƒuq                  :         kebinasaan atau kecelakaan
bqèd$y             :         lupa, lalai
crâä!#tãƒ          :         melihat
bqãã$yJø9#           :         bantuan
E.     Ayat Pendukung
üÏ%©!$# OßgyJyèôÛr& `ÏiB 8íqã_ NßgoYtB#uäur ô`ÏiB ¤$öqyz ÇÍÈ  
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy : 4)
$¨Br'sù zOŠÏKuŠø9$# Ÿxsù öygø)s? ÇÒÈ  
“Sebab itu, terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang.” (Ad Dhuha : 9)
 (#rßç6ôã$#ur ©!$# Ÿwur (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ÉÎ/ur 4n1öà)ø9$# 4yJ»tGuŠø9$#ur ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur Í$pgø:$#ur ÏŒ 4n1öà)ø9$# Í$pgø:$#ur É=ãYàfø9$# É=Ïm$¢Á9$#ur É=/Zyfø9$$Î/ Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# $tBur ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& 3 ¨bÎ) ©!$# Ÿw =Ïtä `tB tb%Ÿ2 Zw$tFøƒèC #·qãsù ÇÌÏÈ  
“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri” (An Nisa’ : 36)

þÎûur öNÎgÏ9ºuqøBr& A,ym È@ͬ!$¡¡=Ïj9 ÏQrãóspRùQ$#ur ÇÊÒÈ  
“dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” (Adz Dzaariyaat: 19)
tbqà)Ïÿ»uZßJø9$# àM»s)Ïÿ»oYßJø9$#ur OßgàÒ÷èt/ .`ÏiB <Ù÷èt/ 4 šcrããBù'tƒ ̍x6ZßJø9$$Î/ šcöqpk÷]tƒur Ç`tã Å$rã÷èyJø9$# šcqàÒÎ6ø)tƒur öNåkuÏ÷ƒr& 4 (#qÝ¡nS ©!$# öNåkuŽÅ¡t^sù 3 žcÎ) tûüÉ)Ïÿ»oYßJø9$# ãNèd šcqà)Å¡»xÿø9$# ÇÏÐÈ  
“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya. mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.” (At Taubah : 67)

ã@ø?$# !$tB zÓÇrré& y7øs9Î) šÆÏB É=»tGÅ3ø9$# ÉOÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# ( žcÎ) no4qn=¢Á9$# 4sS÷Zs? ÇÆtã Ïä!$t±ósxÿø9$# ̍s3ZßJø9$#ur 3 ãø.Ï%s!ur «!$# çŽt9ò2r& 3 ª!$#ur ÞOn=÷ètƒ $tB tbqãèoYóÁs? ÇÍÎÈ  
“Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Ankabut : 45)
$ygƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw (#qè=ÏÜö7è? Nä3ÏG»s%y|¹ Çd`yJø9$$Î/ 3sŒF{$#ur É©9$%x. ß,ÏÿYム¼ã&s!$tB uä!$sÍ Ĩ$¨Z9$# Ÿwur ß`ÏB÷sム«!$$Î/ ÏQöquø9$#ur ̍ÅzFy$# . . .
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al Baqarah : 264)
¨bÎ) tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$# tbqããÏ»sƒä ©!$# uqèdur öNßgããÏ»yz #sŒÎ)ur (#þqãB$s% n<Î) Ío4qn=¢Á9$# (#qãB$s% 4n<$|¡ä. tbrâä!#tãƒ }¨$¨Z9$# Ÿwur šcrãä.õtƒ ©!$# žwÎ) WxŠÎ=s% ÇÊÍËÈ  
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali” (An Nisa’ : 142)
F.     Tafsir

|M÷ƒuäur& Ï%©!$# Ü>Éjs3ムÉúïÏe$!$$Î/
(Tahukah kamu orang yang mendustakan hari pembalasan?) atau adanya hari hisab dan hari pembalasan amal perbuatan.[5]
Dalam ayat ini Allah menghadapkan pertanyaan-Nya kepada Rasul-Nya. “Apakah engkau mengetahui orang yang mendustakan agama?”. Pertanyaan ini tidak bermaksud mengharap jawaban dari Rasul-Nya, melainkan hanya mencari perhatian, karena sesungguhnya jawaban dari pertanyaan tersebut ada dalam ayat berikutnya.[6]
Pertanyaan ini bukannya bertujuan memperoleh jawaban, karena Allah Maha Mengetahui, tetapi bermaksud menggugah hati dan pikiran mitra bicara, agar memperhatikan kandungan pembicaraan berikut.[7] Dengan memperoleh perhatian mitra bicara, maka apapun yang dibicarakan atau diutarakan akan merasuk kedalam hati sehingga jiwa dan pikirannya tergugah.
Pembicaraan yang ingin dibicarakan adalah seputar orang yang mendustakan hari pembalasan. Kata ad-din disini diartikan sebagai hari pembalasan hal ini merujuk keterangan dari M. Quraish Shihab dalam Tasir Al-Mishbah menyebutkan bahwa dalam Al-Qur’an bila menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu, maka konteksnya adalah pengingkaran terhadap hari Kiamat (hari pembalasan).
Seseorang yang pikiran dan tujuan hidupnya hanya untuk mengejar nikmat dunia saja hingga melupakan terjadinya hari pembalasan, padahal percaya atau yakin kepada hari akhir adalah salah satu dari Rukun Iman yang enam. Sikap seperti ini merupakan sikap pengingkaran terhadap apa yang harus diyakini yaitu agama pada umumnya dan hari pembalasan pada khususnya.
Orang yang melupakan tanggung jawab, solidaritas, ibadah sosial dan mengutamakan ibadah ritual atau individual dianggap sebagai pendusta agama.[8] Pembalasan di akhirat tersebut menuntut adanya sebuah tanggung jawab. Yang dimaksud tanggung jawab disini adalah tanggung jawab orang yang mampu terhadap orang yang tidak mampu, karena diantara harta orang-orang yang mampu itu ada bagaian dari orang-orang yang tidak mampu.
šÏ9ºxsù Ï%©!$# íßtƒ zOŠÏKuŠø9$# ÇËÈ  
(Maka dia itulah orang yang menghardik anak yatim) yakni menolaknya dengan keras dan tidak mau memberikan hak yang seharusnya ia terima.[9]
Dalam ayat ini Allah menjelaskan sebagian dan sifat-sifat orang yang mendustakan agama, ialah orang-orang yang menolak dan membentak anak-anak yatim yang datang kepadanya untuk memohon belas-kasihannya memberikan bantuan demi kebutuhan hidupnya. Penolakannya itu adalah sebagai penghinaan dan takaburnya terhadap anak-anak yatim itu.[10]
Menghardik anak yatim, termasuk didalamnya tidak peduli / empati baik secara fisik maupun mental, padahal mereka telah kehilangan pelindung, pembimbing dan figur orangtua. Sehingga kadang orang memperlakukan anak yatim dengan sewenang-wenang padahal hal itu dilarang oleh Allah. Tidak menganjurkan memberi makan tidak sama dengan tidak memberi makan karena menganjurkan bisa dilakukan oleh siapa saja. Ayat ini mengingatkan kepada kita bahwa makanan pada hakekatnya bukan milik kita dan di dalam harta kita ada hak orang miskin.[11]
Kata yadu’u tidak harus diartikan terbatas pada dorongan fisik, tetapi mencakup pula segala macam penganiayaan, gangguan dan sikap tidak bersahabat terhadap mereka. Walhasil ayat ini melarang untuk membiarkan dan meninggalkan mereka. Sedangkan kata al-yatim tidak hanya berarti anak yatim saja, namun mencakup semua orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan.[12]
Ÿwur Ùçts 4n?tã ÏQ$yèsÛ ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$# ÇÌÈ  
(Dan tidak menganjurkan) dirinya atau orang lain (memberi makan orang miskin) ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang yang bersikap demikian, yaitu Al-'Ash bin Wail atau Walid bin Mughirah.
Dalam ayat ini Allah menegaskan lebih lanjut sifat pendusta itu, yaitu dia tidak mengajak orang lain untuk membantu dan memberi makan orang miskin. Bila tidak mau mengajak orang memberi makan dan membantu orang miskin berarti bahwa ia tidak melakukannya sama sekali.[13]
Kata yahudhdhu mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun tetap dituntut paling sedikit berperan sebagai “penganjur pemberi pangan.” Peranan ini dapat dilakukan oleh siapapun, selama mereka merasakan penderitaan orang lain. Ayat diatas tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk tidak berpatisipasi dan merasakan betapa perhatian harus diberikan kepada setiap orang lemah dan membutuhkan bantuan. Sedangkan kata tha’am berarti makanan atau pangan. Ayat tersebut tidak menggunakan redaksi ith’am (memberi makan), tetapi tha’am (pangan) agar setiap orang yang menganjurkan dan atau memberi itu, tidak merasa bahwa ia telah memberi makan orang-orang yang butuh. Ini mengisyratkan bahwa pangan yang mereka anjurkan atau mereka berikan itu, pada hakikatnya walaupun diambil dari tempat penyimpanan yang “dimiliki” si pemberi, tetapi apa yang diberikannya itu bukan miliknya, tetapi hak orang-orang miskin dan butuh itu [14]
×@÷ƒuqsù šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9 ÇÍÈ   tûïÏ%©!$# öNèd `tã öNÍkÍEŸx|¹ tbqèd$y ÇÎÈ  
(Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat). (Yaitu orang-orang yang lalai dari salatnya) artinya mengakhirkan salat dari waktunya.[15]
Dalam ayat-ayat ini Allah mengungkapkan satu ancaman yaitu celakalah orang-orang yang mengerjakan shalat dengan tubuh dan lidahnya tidak sampai kehatinya. Dia lalai tidak menyadari apa yang diucapkan lidahnya dan yang dikerjakannya oleh sendi anggotanya.[16] Ia ruku’ sedang hatinya kosong. Ia melakukan melakukan sujud, tetapi kosong dari pengertian sujud. Ia mengucapkan takbir, tetapi hatinya tidak mengerti makna takbir itu. Shalatnya hanya merupakan gerakan-gerakan rutin yang biasa dilakukan, tanpa adanya penghayatan, dan tidak dapat menikmati pengaruh shalatnya.[17]
Tidak menganjurkan memberi makan tidak sama dengan tidak memberi makan karena menganjurkan bisa dilakukan oleh siapa saja. Ayat ini mengingatkan kepada kita bahwa makanan pada hakekatnya bukan milik kita dan di dalam harta kita ada hak orang miskin.[18]
Orang yang shalat tetapi lalai terhadap fungsi shalat, dia termasuk orang yang celaka. Seharusnya shalat menjadikan seseorang menjadi meningkat spiritualitasnya, sehingga bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Shalat juga sebagai aktualisasi dan refleksi dari sikap lemah dan butuhnya manusia kepada Allah. Shalat ditutup dengan salam menunjukkan bahwa orang yang shalat harus menebarkan kedamaian keselamatan, kesejahteraan dan rahmat kepada seluruh alam.[19]
tûïÏ%©!$# öNèd šcrâä!#tãƒ ÇÏÈ  
(orang-orang yang berbuat ria) di dalam salatnya atau dalam hal-hal lainnya.[20]
Dalam ayat ini Allah menambahkan penjelasan tentang sifat orang pendusta agama yaitu mereka yang melakukan perbuatan-perbuatan lahir hanya semata karena riya’ tidak terkesan pada jiwanya untuk meresapi rahasia dan hikmahnya.[21]
Orang yang mendustakan agama adalah orang yang berbuat riya’. Riya’ adalah perbuatan yang sangatlah tidak bisa dideteksi oleh pelakunya. Perbuatan riya’ juga tergolong perbuatan syirik ashgar, dan dosa syirik tidak diampuni oleh Allah. Orang yang berbuat riya’ walau dalam shalat, tidak akan mendapat pahala karena orang itu melakukan ibadah bukan karena Allah melainkan karena ingin dilihat orang lain serta mengharap pujian dari orang lain.
Pelaku riya’ ini dapat dibagi beberapa macam :[22]
1.                   Menggunakan budi pekerti yang baik dalam rangka mengharapkan kedudukan dan mendapatkan pujian orang lain.
2.                   Memakai pakaian yang sederhana dan kasar, agar dikatakan sebagai orang yang sederhana, zuhud atau menjauhi keduniaan.
3.                   Berpura-pura benci terhadap masalah keduniaan, dan merasa menyesal jika ada sesuatu yang menguntungkan tetapi tidak dilaksanakan.
4.                   Memamerkan shalat dan sadaqah, atau gemar melakukan salat agar dilihat orang banyak.
Kata yura’un terambil dari kata ra’a yang berarti melihat. Dari akar kata yang sama lahir kata riya’ yakni siapa yang melakukan pekerjaannya sambil melihat manusia, sehingga jika tak ada yang melihatnya mereka tidak melakukannya. Kata itu juga berarti bahwa mereka ketika melakukan suatu pekerjaan selalu berusaha atau berkeinginan agar dilihat dan diperhatikan orang lain untuk mendapat pujian mereka. Riya’ adalah sesuatu yang abstrak, sulit bahkan mustahil dapat dideteksi oleh orang lain, bahkan yang bersangkutan sendiri terkadang tidak menyadarinya, apalagi jika ia sedang tenggelam dalam satu kesibukan. Riya’ diibaratkan sebagai semut kecil lagi hitam berjalan dengan perlahan di tengah kelamnya malam di tubuhnya seseorang.[23]
tbqãèuZôJtƒur tbqãã$yJø9$# ÇÐÈ  
      (Dan enggan menolong dengan barang yang berguna) artinya tidak mau meminjamkan barang-barang miliknya yang diperlukan orang lain; apalagi memberikannya, seperti jarum, kapak, kuali, mangkok dan sebagainya.[24]
Dalam ayat ini Allah menambahkan lagi sifat pendusta itu yaitu mereka tidak mau memberikan barang-barang yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya.[25] Kata al-ma’un menurut ulama berasal dari kata ma’unah yang berarti bantuan. Ada juga yang berpendapat bahwa al-ma’un adalah bentuk maf’ul dari kata a’ana-yu’ina yang berarti membantu dengan bantuan yang jelas baik dengan alat-alat maupun fasilitas yang memudahkan tercapainya sesuatu yang diharapkan. Tetapi kedua pendapat di atas tidak populer. Tidak sedikit ulama yang berpendapat bahwa kata ini terambil dari kata al-ma’un yang berarti sedikit.
Al-ma’un atau bantuan (yang sedikit itu) bisa diartikan berbagai macam, antara lain:
1)      Zakat
2)      Harta benda
3)      Alat-alat rumah tangga
4)      Air
5)      Keperluan sehari-hari
Sebenarnya tidak ada suatu alasan untuk menolak pendapat-pendapat terperinci di atas, sebagaimana tidak pula beralasan untuk memilih salah satunya, karena ayat itu sendiri tidak menetapkan suatu benuk atau jenis bantuan. Kata ini cenderung dipahami dalam arti sesuatu yang kecil dan dibutuhkan, sehingga dengan demikian ayat ini menggambarkan betapa kikir pelaku yang ditunjuk, yakni jangankan bantuanyang sifatnya besar, hal-hal yang kecil pun enggan.[26]
Daftar Pustaka

As-Syuyuthi, Jalaludin dan Muhammad, Jalaludin. Tafsir Jalallain. Surabaya: Dar ‘Abidin.
Shaleh, Qamaruddin. Asbabun Nuzul. Bandung: Diponegoro, 2000.
Shihab, M. Quraish. Al-Lubab. Jakarta: Lentera Hati, 2008.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maragi. Semarang: Toha Putra, 1985.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Asrori. Tafsir Al-Asraar. Yogyakarta: Daarut Tajdiid, 2012.
NN. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: PT Khasanah Mimbar Plus, 2011.
Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia. Mukadimah Al Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990.




[1] NN,“Al Qur’an dan Terjemahannya” (Jakarta: PT Khasanah Mimbar Plus, 2011), 602.
[2] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an” (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 515. 
[3] Qamaruddin Shaleh, “Asbabun Nuzul” (Bandung : Diponegoro, 2000), 677.
[4]
[5] Jalaludin As-Syuyuthi dan Jalaludin Muhammad, “Tafsir jalalain” (Surabaya : Dar ‘Abidin), 272.
[6] Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, “Mukadimah Al Qur’an dan Tafsirnya” (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), 817.
[7] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an” (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 546.
[8] Asrori, “Tafsir Al-Asraar” (Yogyakarta: Daarut Tajdiid, 2012), 113.
[9] Jalaludin As-Syuyuthi dan Jalaludin Muhammad, “Tafsir jalalain”  (Surabaya : Dar ‘Abidin), 272.
[10] Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, “Mukadimah Al Qur’an dan Tafsirnya”  (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), 817.
[11] M. Quraish Shihab, “Al-Lubab”  (Jakarta : Lentera Hati, 2008), 306.
[12] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an”  (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 547.
[13] Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, “Mukadimah Al Qur’an dan Tafsirnya” (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), 818.
[14] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an” (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 547.
[15] Jalaludin As-Syuyuthi dan Jalaludin Muhammad, “Tafsir jalalain”  (Surabaya : Dar ‘Abidin), 272.
[16] Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, “Mukadimah Al Qur’an dan Tafsirnya”  (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), 818.
[17] Ahmad Mustafa Al-Maragi, “Tafsir Al-Maragi” (Semarang: Toha Putra, 1985), 437.
[18] M. Quraish Shihab, “Al-Lubab” (Jakarta : Lentera Hati, 2008), 306.
[19] Asrori, “Tafsir Al-Asraar” (Yogyakarta: Daarut Tajdiid, 2012), 113-114.
[20] Jalaludin As-Syuyuthi dan Jalaludin Muhammad, “Tafsir jalalain” (Surabaya : Dar ‘Abidin), 272.
[21] Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, “Mukadimah Al Qur’an dan Tafsirnya” (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990),  818.
[22] Ahmad Mustafa Al-Maragi, “Tafsir Al-Maragi” (Semarang: Toha Putra, 1985), 434.
[23] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an” (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 550-551.
[24] Jalaludin As-Syuyuthi dan Jalaludin Muhammad, “Tafsir jalalain” (Surabaya : Dar ‘Abidin), 272.
[25] Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, “Mukadimah Al Qur’an dan Tafsirnya” (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), 818.
[26]  M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an” (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 551.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar