MAKALAH
“Surat Al Ma’un”
Makalah ini di susun untuk memenuhi tugas mata
kuliah
“Studi
al-Qur’an“
Di
Susun Oleh:
Ulfa
Kartika F. (210314036)
Wahyu
Nurjannah (210314027)
Yusuf
Eko Dariyanto (210314034)
Dosen
Pengampu:
Umar
Sidiq, M. AG.
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
JURUSAN
TARBIYAH
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
A.
Surat Al Ma’un
|M÷ƒuäu‘r&
“Ï%©!$#
Ü>Éj‹s3ãƒ
ÉúïÏe$!$$Î/
ÇÊÈ šÏ9ºx‹sù
”Ï%©!$#
‘í߉tƒ
zOŠÏKuŠø9$#
ÇËÈ Ÿwur
Ùçts†
4’n?tã
ÏQ$yèsÛ
ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$#
ÇÌÈ ×@÷ƒuqsù
šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9
ÇÍÈ tûïÏ%©!$#
öNèd
`tã
öNÍkÍEŸx|¹
tbqèd$y™
ÇÎÈ tûïÏ%©!$#
öNèd
šcrâä!#tãƒ
ÇÏÈ tbqãèuZôJtƒur
tbqãã$yJø9$#
ÇÐÈ
(1) Tahukah kamu (orang) yang mendustakan hari
pembalasan ?. (2) Maka itulah orang yang menghardik anak yatim, (3) dan tidak
mendorong memberi makan orang miskin. (4)
Maka celakaanlah orang yang shalat, (5) (yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya, (6) yang berbuat riya, (7) dan enggan (memberi) bantuan.
C. Asbab
An Nuzul
Ayat 1-3 turun dilatarbelakangi suatu kejadian yaitu
ketika seorang anak yatim datang meminta sedikit daging yang telah disembelih
itu namun ia tidak diberinya bahkan dihardik dan diusir.[2]
Ayat 4-7 turun
berkenaan dengan kaum Munafikin yang suka mempertontonkan shalat (riya’) kepada
kaum Mukminin dan meninggalkannya apabila tidak ada yang melihatnya serta
menolak memberikan bantuan ataupun pinjaman. Ayat ini turun sebagai peringatan
kepada orang-orang yang berbuat seperti itu.[3]
D. Mufradaat
úïÏe$!# :
agama , kepatuhan dan pembalasan
í߉tƒ : mendorong dengan keras
OŠÏKuŠø9# : kesendirian
Ùçts† : menganjurkan
Q$yèsÛ : makanan atau pangan
@÷ƒuq : kebinasaan atau kecelakaan
bqèd$y™ : lupa, lalai
crâä!#tム: melihat
bqãã$yJø9# : bantuan
E. Ayat
Pendukung
ü”Ï%©!$#
OßgyJyèôÛr&
`ÏiB
8íqã_
NßgoYtB#uäur
ô`ÏiB
¤$öqyz
ÇÍÈ
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan
lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (QS. Quraisy : 4)
$¨Br'sù
zOŠÏKuŠø9$#
Ÿxsù
öygø)s?
ÇÒÈ
“Sebab itu,
terhadap anak yatim janganlah kamu Berlaku sewenang-wenang.” (Ad Dhuha : 9)
(#r߉ç6ôã$#ur
©!$#
Ÿwur
(#qä.ÎŽô³è@
¾ÏmÎ/
$\«ø‹x©
( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur
$YZ»|¡ômÎ)
“É‹Î/ur
4’n1öà)ø9$#
4’yJ»tGuŠø9$#ur
ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur
Í‘$pgø:$#ur
“ÏŒ
4’n1öà)ø9$#
Í‘$pgø:$#ur
É=ãYàfø9$#
É=Ïm$¢Á9$#ur
É=/Zyfø9$$Î/
Èûøó$#ur
È@‹Î6¡¡9$#
$tBur
ôMs3n=tB
öNä3ãZ»yJ÷ƒr&
3 ¨bÎ)
©!$#
Ÿw
=Ïtä†
`tB
tb%Ÿ2
Zw$tFøƒèC
#·‘qã‚sù
ÇÌÏÈ
“Sembahlah
Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah
kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin,
tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, Ibnu sabil dan
hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan
membangga-banggakan diri” (An Nisa’ : 36)
þ’Îûur
öNÎgÏ9ºuqøBr&
A,ym
È@ͬ!$¡¡=Ïj9
ÏQrãóspRùQ$#ur
ÇÊÒÈ
“dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian” (Adz Dzaariyaat: 19)
tbqà)Ïÿ»uZßJø9$#
àM»s)Ïÿ»oYßJø9$#ur
OßgàÒ÷èt/
.`ÏiB
<Ù÷èt/
4 šcrããBù'tƒ
Ìx6ZßJø9$$Î/
šcöqpk÷]tƒur
Ç`tã
Å$rã÷èyJø9$#
šcqàÒÎ6ø)tƒur
öNåku‰Ï‰÷ƒr&
4 (#qݡnS
©!$#
öNåkuŽÅ¡t^sù
3 žcÎ)
tûüÉ)Ïÿ»oYßJø9$#
ãNèd
šcqà)Å¡»xÿø9$#
ÇÏÐÈ
“Orang-orang
munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah
sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan
mereka menggenggamkan tangannya. mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah
melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang
fasik.” (At
Taubah : 67)
ã@ø?$#
!$tB
zÓÇrré&
y7ø‹s9Î)
šÆÏB
É=»tGÅ3ø9$#
ÉOÏ%r&ur
no4qn=¢Á9$#
( žcÎ)
no4qn=¢Á9$#
4‘sS÷Zs?
ÇÆtã
Ïä!$t±ósxÿø9$#
Ìs3ZßJø9$#ur
3 ãø.Ï%s!ur
«!$#
çŽt9ò2r&
3 ª!$#ur
ÞOn=÷ètƒ
$tB
tbqãèoYóÁs?
ÇÍÎÈ
“Bacalah apa
yang telah diwahyukan kepadamu, Yaitu Al kitab (Al Quran) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan
mungkar. dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar
(keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” (QS.
Al Ankabut : 45)
$yg•ƒr'¯»tƒ
tûïÏ%©!$#
(#qãZtB#uä
Ÿw
(#qè=ÏÜö7è?
Nä3ÏG»s%y‰|¹
Çd`yJø9$$Î/
3“sŒF{$#ur
“É‹©9$%x.
ß,ÏÿYãƒ
¼ã&s!$tB
uä!$sÍ‘
Ĩ$¨Z9$#
Ÿwur
ß`ÏB÷sãƒ
«!$$Î/
ÏQöqu‹ø9$#ur
ÌÅzFy$#
.
. .
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang
yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan Dia tidak beriman
kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. Al Baqarah : 264)
¨bÎ)
tûüÉ)Ïÿ»uZßJø9$#
tbqããω»sƒä†
©!$#
uqèdur
öNßgããω»yz
#sŒÎ)ur
(#þqãB$s%
’n<Î)
Ío4qn=¢Á9$#
(#qãB$s%
4’n<$|¡ä.
tbrâä!#tãƒ
}¨$¨Z9$#
Ÿwur
šcrãä.õ‹tƒ
©!$#
žwÎ)
WxŠÎ=s%
ÇÊÍËÈ
“Sesungguhnya
orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.
dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. mereka
bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut
Allah kecuali sedikit sekali” (An Nisa’ : 142)
F. Tafsir
|M÷ƒuäu‘r&
“Ï%©!$#
Ü>Éj‹s3ãƒ
ÉúïÏe$!$$Î/
(Tahukah kamu orang yang
mendustakan hari pembalasan?) atau adanya hari hisab dan hari pembalasan amal
perbuatan.[5]
Dalam ayat ini
Allah menghadapkan pertanyaan-Nya kepada Rasul-Nya. “Apakah engkau mengetahui
orang yang mendustakan agama?”. Pertanyaan ini tidak bermaksud mengharap
jawaban dari Rasul-Nya, melainkan hanya mencari perhatian, karena sesungguhnya
jawaban dari pertanyaan tersebut ada dalam ayat berikutnya.[6]
Pertanyaan ini
bukannya bertujuan memperoleh jawaban, karena Allah Maha Mengetahui, tetapi
bermaksud menggugah hati dan pikiran mitra bicara, agar memperhatikan kandungan
pembicaraan berikut.[7]
Dengan memperoleh perhatian mitra bicara, maka apapun yang dibicarakan atau
diutarakan akan merasuk kedalam hati sehingga jiwa dan pikirannya tergugah.
Pembicaraan
yang ingin dibicarakan adalah seputar orang yang mendustakan hari pembalasan.
Kata ad-din disini diartikan sebagai hari pembalasan hal ini merujuk
keterangan dari M. Quraish Shihab dalam Tasir Al-Mishbah menyebutkan bahwa
dalam Al-Qur’an bila menggandengkan kata ad-din dengan yukadzdzibu,
maka konteksnya adalah pengingkaran terhadap hari Kiamat (hari pembalasan).
Seseorang yang
pikiran dan tujuan hidupnya hanya untuk mengejar nikmat dunia saja hingga
melupakan terjadinya hari pembalasan, padahal percaya atau yakin kepada hari
akhir adalah salah satu dari Rukun Iman yang enam. Sikap seperti ini merupakan
sikap pengingkaran terhadap apa yang harus diyakini yaitu agama pada umumnya
dan hari pembalasan pada khususnya.
Orang yang
melupakan tanggung jawab, solidaritas, ibadah sosial dan mengutamakan ibadah
ritual atau individual dianggap sebagai pendusta agama.[8]
Pembalasan di akhirat tersebut menuntut adanya sebuah tanggung jawab. Yang
dimaksud tanggung jawab disini adalah tanggung jawab orang yang mampu terhadap
orang yang tidak mampu, karena diantara harta orang-orang yang mampu itu ada
bagaian dari orang-orang yang tidak mampu.
šÏ9ºx‹sù
”Ï%©!$#
‘í߉tƒ
zOŠÏKuŠø9$#
ÇËÈ
(Maka dia itulah orang
yang menghardik anak yatim) yakni menolaknya dengan keras dan tidak mau
memberikan hak yang seharusnya ia terima.[9]
Dalam ayat ini
Allah menjelaskan sebagian dan sifat-sifat orang yang mendustakan agama, ialah
orang-orang yang menolak dan membentak anak-anak yatim yang datang kepadanya
untuk memohon belas-kasihannya memberikan bantuan demi kebutuhan hidupnya.
Penolakannya itu adalah sebagai penghinaan dan takaburnya terhadap anak-anak
yatim itu.[10]
Menghardik
anak yatim, termasuk didalamnya tidak peduli / empati baik secara fisik maupun
mental, padahal mereka telah kehilangan pelindung, pembimbing dan figur
orangtua. Sehingga kadang orang memperlakukan anak yatim dengan sewenang-wenang
padahal hal itu dilarang oleh Allah. Tidak menganjurkan memberi makan tidak
sama dengan tidak memberi makan karena menganjurkan bisa dilakukan oleh siapa
saja. Ayat ini mengingatkan kepada kita bahwa makanan pada hakekatnya bukan
milik kita dan di dalam harta kita ada hak orang miskin.[11]
Kata yadu’u
tidak harus diartikan terbatas pada dorongan fisik, tetapi mencakup pula segala
macam penganiayaan, gangguan dan sikap tidak bersahabat terhadap mereka.
Walhasil ayat ini melarang untuk membiarkan dan meninggalkan mereka. Sedangkan
kata al-yatim tidak hanya berarti anak yatim saja, namun mencakup semua
orang yang lemah dan membutuhkan pertolongan.[12]
Ÿwur
Ùçts†
4’n?tã
ÏQ$yèsÛ
ÈûüÅ3ó¡ÏJø9$#
ÇÌÈ
(Dan tidak
menganjurkan) dirinya atau orang lain (memberi makan orang miskin) ayat ini diturunkan
berkenaan dengan orang yang bersikap demikian, yaitu Al-'Ash bin Wail atau
Walid bin Mughirah.
Dalam ayat ini
Allah menegaskan lebih lanjut sifat pendusta itu, yaitu dia tidak mengajak
orang lain untuk membantu dan memberi makan orang miskin. Bila tidak mau
mengajak orang memberi makan dan membantu orang miskin berarti bahwa ia tidak
melakukannya sama sekali.[13]
Kata yahudhdhu
mengisyaratkan bahwa mereka yang tidak memiliki kelebihan apapun tetap dituntut
paling sedikit berperan sebagai “penganjur pemberi pangan.” Peranan ini dapat
dilakukan oleh siapapun, selama mereka merasakan penderitaan orang lain. Ayat
diatas tidak memberi peluang sekecil apapun bagi setiap orang untuk tidak
berpatisipasi dan merasakan betapa perhatian harus diberikan kepada setiap
orang lemah dan membutuhkan bantuan. Sedangkan kata tha’am berarti
makanan atau pangan. Ayat tersebut tidak menggunakan redaksi ith’am
(memberi makan), tetapi tha’am (pangan) agar setiap orang yang
menganjurkan dan atau memberi itu, tidak merasa bahwa ia telah memberi makan
orang-orang yang butuh. Ini mengisyratkan bahwa pangan yang mereka anjurkan
atau mereka berikan itu, pada hakikatnya walaupun diambil dari tempat
penyimpanan yang “dimiliki” si pemberi, tetapi apa yang diberikannya itu bukan
miliknya, tetapi hak orang-orang miskin dan butuh itu [14]
×@÷ƒuqsù
šú,Íj#|ÁßJù=Ïj9
ÇÍÈ tûïÏ%©!$#
öNèd
`tã
öNÍkÍEŸx|¹
tbqèd$y™
ÇÎÈ
(Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang salat). (Yaitu orang-orang yang lalai dari salatnya) artinya
mengakhirkan salat dari waktunya.[15]
Dalam
ayat-ayat ini Allah mengungkapkan satu ancaman yaitu celakalah orang-orang yang
mengerjakan shalat dengan tubuh dan lidahnya tidak sampai kehatinya. Dia lalai
tidak menyadari apa yang diucapkan lidahnya dan yang dikerjakannya oleh sendi
anggotanya.[16] Ia
ruku’ sedang hatinya kosong. Ia melakukan melakukan sujud, tetapi kosong dari
pengertian sujud. Ia mengucapkan takbir, tetapi hatinya tidak mengerti makna
takbir itu. Shalatnya hanya merupakan gerakan-gerakan rutin yang biasa
dilakukan, tanpa adanya penghayatan, dan tidak dapat menikmati pengaruh
shalatnya.[17]
Tidak
menganjurkan memberi makan tidak sama dengan tidak memberi makan karena
menganjurkan bisa dilakukan oleh siapa saja. Ayat ini mengingatkan kepada kita
bahwa makanan pada hakekatnya bukan milik kita dan di dalam harta kita ada hak
orang miskin.[18]
Orang yang
shalat tetapi lalai terhadap fungsi shalat, dia termasuk orang yang celaka.
Seharusnya shalat menjadikan seseorang menjadi meningkat spiritualitasnya,
sehingga bisa mencegah dari perbuatan keji dan mungkar. Shalat juga sebagai
aktualisasi dan refleksi dari sikap lemah dan butuhnya manusia kepada Allah.
Shalat ditutup dengan salam menunjukkan bahwa orang yang shalat harus
menebarkan kedamaian keselamatan, kesejahteraan dan rahmat kepada seluruh alam.[19]
tûïÏ%©!$#
öNèd
šcrâä!#tãƒ
ÇÏÈ
(orang-orang yang berbuat
ria) di dalam salatnya atau dalam hal-hal lainnya.[20]
Dalam ayat ini
Allah menambahkan penjelasan tentang sifat orang pendusta agama yaitu mereka
yang melakukan perbuatan-perbuatan lahir hanya semata karena riya’ tidak
terkesan pada jiwanya untuk meresapi rahasia dan hikmahnya.[21]
Orang yang
mendustakan agama adalah orang yang berbuat riya’. Riya’ adalah perbuatan yang
sangatlah tidak bisa dideteksi oleh pelakunya. Perbuatan riya’ juga tergolong
perbuatan syirik ashgar, dan dosa syirik tidak diampuni oleh Allah. Orang yang
berbuat riya’ walau dalam shalat, tidak akan mendapat pahala karena orang itu
melakukan ibadah bukan karena Allah melainkan karena ingin dilihat orang lain
serta mengharap pujian dari orang lain.
Pelaku riya’ ini
dapat dibagi beberapa macam :[22]
1.
Menggunakan budi pekerti yang baik dalam rangka
mengharapkan kedudukan dan mendapatkan pujian orang lain.
2.
Memakai pakaian yang sederhana dan kasar, agar
dikatakan sebagai orang yang sederhana, zuhud atau menjauhi keduniaan.
3.
Berpura-pura benci terhadap masalah keduniaan, dan
merasa menyesal jika ada sesuatu yang menguntungkan tetapi tidak dilaksanakan.
4.
Memamerkan shalat dan sadaqah, atau gemar melakukan
salat agar dilihat orang banyak.
Kata yura’un
terambil dari kata ra’a yang berarti melihat. Dari akar kata yang
sama lahir kata riya’ yakni siapa yang melakukan pekerjaannya sambil melihat
manusia, sehingga jika tak ada yang melihatnya mereka tidak melakukannya. Kata
itu juga berarti bahwa mereka ketika melakukan suatu pekerjaan selalu berusaha
atau berkeinginan agar dilihat dan diperhatikan orang lain untuk mendapat
pujian mereka. Riya’ adalah sesuatu yang abstrak, sulit bahkan mustahil dapat
dideteksi oleh orang lain, bahkan yang bersangkutan sendiri terkadang tidak
menyadarinya, apalagi jika ia sedang tenggelam dalam satu kesibukan. Riya’
diibaratkan sebagai semut kecil lagi hitam berjalan dengan perlahan di tengah
kelamnya malam di tubuhnya seseorang.[23]
tbqãèuZôJtƒur
tbqãã$yJø9$#
ÇÐÈ
(Dan enggan menolong dengan barang yang berguna) artinya
tidak mau meminjamkan barang-barang miliknya yang diperlukan orang lain;
apalagi memberikannya, seperti jarum, kapak, kuali, mangkok dan sebagainya.[24]
Dalam ayat ini
Allah menambahkan lagi sifat pendusta itu yaitu mereka tidak mau memberikan
barang-barang yang diperlukan oleh orang-orang yang membutuhkannya.[25]
Kata al-ma’un menurut ulama berasal dari kata ma’unah yang
berarti bantuan. Ada juga yang berpendapat bahwa al-ma’un adalah bentuk
maf’ul dari kata a’ana-yu’ina yang berarti membantu dengan bantuan yang
jelas baik dengan alat-alat maupun fasilitas yang memudahkan tercapainya
sesuatu yang diharapkan. Tetapi kedua pendapat di atas tidak populer. Tidak
sedikit ulama yang berpendapat bahwa kata ini terambil dari kata al-ma’un
yang berarti sedikit.
Al-ma’un atau bantuan (yang sedikit
itu) bisa diartikan berbagai macam, antara lain:
1) Zakat
2) Harta
benda
3) Alat-alat
rumah tangga
4) Air
5) Keperluan
sehari-hari
Sebenarnya
tidak ada suatu alasan untuk menolak pendapat-pendapat terperinci di atas,
sebagaimana tidak pula beralasan untuk memilih salah satunya, karena ayat itu
sendiri tidak menetapkan suatu benuk atau jenis bantuan. Kata ini cenderung
dipahami dalam arti sesuatu yang kecil dan dibutuhkan, sehingga dengan demikian
ayat ini menggambarkan betapa kikir pelaku yang ditunjuk, yakni jangankan
bantuanyang sifatnya besar, hal-hal yang kecil pun enggan.[26]
Daftar
Pustaka
As-Syuyuthi, Jalaludin dan Muhammad,
Jalaludin. Tafsir Jalallain. Surabaya: Dar ‘Abidin.
Shaleh, Qamaruddin. Asbabun
Nuzul. Bandung: Diponegoro, 2000.
Shihab, M. Quraish. Al-Lubab. Jakarta:
Lentera Hati, 2008.
Al-Maragi, Ahmad Mustafa. Tafsir
Al-Maragi. Semarang: Toha Putra, 1985.
Shihab, M. Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati, 2002.
Asrori. Tafsir Al-Asraar. Yogyakarta:
Daarut Tajdiid, 2012.
NN. Al Qur’an dan
Terjemahannya. Jakarta: PT Khasanah Mimbar Plus, 2011.
Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia. Mukadimah
Al Qur’an dan Tafsirnya. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990.
[1]
NN,“Al Qur’an dan Terjemahannya” (Jakarta: PT Khasanah Mimbar Plus,
2011), 602.
[2]
M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an” (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 515.
[3]
Qamaruddin Shaleh, “Asbabun Nuzul” (Bandung : Diponegoro, 2000), 677.
[5]
Jalaludin As-Syuyuthi dan Jalaludin Muhammad, “Tafsir jalalain” (Surabaya
: Dar ‘Abidin), 272.
[6]
Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, “Mukadimah Al
Qur’an dan Tafsirnya” (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), 817.
[7]
M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an”
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), 546.
[8] Asrori,
“Tafsir Al-Asraar” (Yogyakarta: Daarut Tajdiid, 2012), 113.
[9]
Jalaludin As-Syuyuthi dan Jalaludin Muhammad, “Tafsir jalalain” (Surabaya : Dar ‘Abidin), 272.
[10]
Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, “Mukadimah Al
Qur’an dan Tafsirnya” (Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1990), 817.
[11] M.
Quraish Shihab, “Al-Lubab” (Jakarta
: Lentera Hati, 2008), 306.
[12]
M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an” (Jakarta: Lentera Hati,
2002), 547.
[13]
Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, “Mukadimah Al
Qur’an dan Tafsirnya” (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), 818.
[14]
M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an” (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 547.
[15]
Jalaludin As-Syuyuthi dan Jalaludin Muhammad, “Tafsir jalalain” (Surabaya : Dar ‘Abidin), 272.
[16]
Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, “Mukadimah Al
Qur’an dan Tafsirnya” (Yogyakarta:
Dana Bhakti Wakaf, 1990), 818.
[17] Ahmad
Mustafa Al-Maragi, “Tafsir Al-Maragi” (Semarang: Toha Putra, 1985), 437.
[18] M.
Quraish Shihab, “Al-Lubab” (Jakarta : Lentera Hati, 2008), 306.
[19] Asrori,
“Tafsir Al-Asraar” (Yogyakarta: Daarut Tajdiid, 2012), 113-114.
[20]
Jalaludin As-Syuyuthi dan Jalaludin Muhammad, “Tafsir jalalain” (Surabaya
: Dar ‘Abidin), 272.
[21]
Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, “Mukadimah Al
Qur’an dan Tafsirnya” (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), 818.
[22] Ahmad
Mustafa Al-Maragi, “Tafsir Al-Maragi” (Semarang: Toha Putra, 1985), 434.
[23]
M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah : Pesan, Kesan, dan Keserasian
Al-Qur’an” (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 550-551.
[24]
Jalaludin As-Syuyuthi dan Jalaludin Muhammad, “Tafsir jalalain” (Surabaya
: Dar ‘Abidin), 272.
[25]
Tim Tashih Departemen Agama dan Universitas Islam Indonesia, “Mukadimah Al
Qur’an dan Tafsirnya” (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1990), 818.
[26] M. Quraish Shihab, “Tafsir Al-Mishbah :
Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an” (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 551.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar