Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan tahun ajaran 2014/2015
Disusun oleh kelompok VII / TB.A :
1
|
Rofiq Nasrulloh Rahmadi
|
210314007
|
(Moderator)
|
2
|
Nadzir Mahlazzaman
|
210314015
|
(Pemateri)
|
3
|
Yusuf Eko Dariyanto
|
210314034
|
(Notulen)
|
Dosen pengampu : Dr. Waris
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO
Kata Pengantar
Assalamu’alaikum
Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur kehadirat Allah
SWT. Yang dengan rahmat, taufik, hidayah, serta inayahnya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan judul “Otonomi Daerah” dengan lancar.
Sholawat dan salam tetap terlimpahkan kepada nabi Muhammad SAW,
yang telah menuntun kita dari jaman jahiliyah menuju jaman islamiyah yang penuh
berkah ini.
Dengan
selesainya makalah ini saya mengucapkan terim kasih kepada :
1.
Drs.
Waris selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
2.
Kepada
teman-teman, khususnya kelas TB.A yang berbahagia atas partisipasi dan
dukungannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Dengan membaca makalah ini semoga kita dapat lebih paham tentang sistem
pemerintahan di Indonesia khususnya otonomi daerah. Kepada para pembaca kami
sangat mengharap teguran maupun tambahan untuk perbaikan makalah ini di
kemudian hari.
Wassalamu’alaikum wr. Wb.
Ponorogo, Desember 2014
Penyusun
Kelompok
VII TB.A
BAB 1
Pendahuluan
A.
Latar Belakang Masalah
Sudah lama negara Indonesia merdeka, tepatnya sudah 69 tahun yang
lalu proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Sejak saat itu Indonesia tidak lagi
sebagai negara jajahan, namun merupakan negara merdeka, negara yang mempunyai
cita-cita sendiri dan akan berusaha sendiri untuk mewujudkannya.
Negara Indonesia Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang
berbentuk Republik dengan kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh
satu orang yaitu presiden. Dalam tugasnya presiden dibantu oleh wakil presiden
serta menteri-menteri. Namun hal ini terasa kurang efektif, karena negara
Indonesia memiliki wilayah yang luas yang berbentuk kepulauan. Warga negaranya
adalah gabungan dari berbagai suku mulai dari Sabang sampai Merauke. Tentu hal
ini menyulitkan dalam setiap membuat kebijakan. Belum tentu kebijakan yang
diterima suatu daerah dapat di terima daerah lain. Maka dari itu disamping
dibantu oleh wakil dan menteri-menteri, presiden juga dibantu oleh
kepala-kepala daerah. Kepala-kepala daerah inilah yang menjadi ujung tombak
sebagai pelayan publik dan yang mengetahui persis seperti apa kebijakan
seharusnya dibuat untuk daerahnya. Hal inilah yang kemudian disebut otonomi
daerah.
Sistem otonomi daerah ini memang meniru sistem Desentralisasi yang
diterapkan oleh Amerika Serikat dalam menyatukan negara negara bagiannya.
Otonomi daerah dengan Desentralisasi sendiri memang berbeda tapi memiliki inti
yang sama, yaitu memberi pelayanan publik sesuai daerahnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apakah pengertian otonomi daerah?
2.
Bagaimana
sejarah otonomi di Indonesia?
3.
Apakah
argumen dalam memilih Desentralisasi-otonomi?
4.
Bagaimana
kesalahpahaman terhadap otonomi daerah?
BAB 2
Pembahasan
A.
Pengertian Otonomi Daerah
Istilah Otonomi
Daerah dan desentralisasi dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintah
sering digunakan secara campur baur (interchangeably). Sekalipun secara
teoritis kedua konsep ini dapat dipisahkan, namun secara praktis kedua konsep
ini sukar dipisahkan. Bahkan menurut banyak kalangan otonomi daerah adalah
desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan
pembagian kewenanagan kepada organ-organ penyelenggara Negara, sedangkan otonomi
menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut. Dewasa ini hampir
setiap Negara bangsa (nation state) menganut desentralisasi sebagai suatu asas
dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Desentralisasi sebagaimana
didefinisikan perserikatan bangsa sangsa (PBB) adalah:
“Desentralisasi terkait dengan
masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibukota
Negara baik melalui cara dekonsentrasi,
misalnya pendelegasian, kepada penjabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian
kepada pemerintah atau perwakilan di daerah.” [1]
Batasan ini
hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah tapi
belum menjelaskan isi dan keluasan kewenangan serta konsekuensi penyerahan
kewenangan itu bagi badan-badan otonomi daerah.
Menurut M.
Turner dan D. Hulme (dalam Teguh Wahyono,ed., 2001, h. 27) berpandangan bahwa
yang dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk
menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada public dari seorang atau agen
pemerintah pusat pada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada
public yang dilayani. Transfer kewenangan secara fusngsional ini memiliki tiga
tipe : Pertama apabila
pendelegasian kewenangan itu didalam setruktur politik formal misalnya, dari
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; Kedua, jika transfer itu
terjadi dalam struktur administrasi publik, misalnya, dari kantor pusat sebuah
kementrian kepada kantor kementrian yang ada di daerah; Ketiga, jika
transfer tersebut dari institusi Negara kepada agen Negara, misalnya penjualan
asset pelanyanan public seperti telepon atau penerbangan kepada sebuah
perusahaan.[2]
Rondinelli
mendevinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawab dalam
perencanaan, menajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen
agennya kepada unit kementrian pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level
pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau
fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah dan
organisai nirlaba (Teguh Yuwono, ed. , 2001, h.28)[3]
Sedangkan
pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”.
Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi
daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan
dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika derah
sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah
berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri[4].
Rondinelli
membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu (1) deconcentration,(2) delegation
to semi-autonomous and parastatal agencies,(3)devolution to local
governments,dan (4) nongovernment institutions(privatization). Dalam
kontek Indonesia dikenal bentuk tugas pembantuan.
1.
Dekonsentrasi
Desentralisasi
dalam bentuk dekonsentrasi (deconsentration), menurut Rondinelli, pada
hakikatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab
administratif antara pemerintah (departemen) pusat dengan pejabat birokrasi
pusat di lapangan. Jadi, dekonsentrasi hanya berupa pergeseran volume pekerjaan
dari departemen pusat kepada perwakilanya yang ada di daerah, tanpa adanya
penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau kelelusaan
untuk membuat keputusan.[5]
2.
Delegasi
Delegation to
semi autonomous sebagai bentuk kedua desentralisasi
yang disebutkan oleh rondinelli adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan
kewenangan manajerial. Untuk melakukan tugas tugas khusus pada suatu organisasi
yang tidak secara langsung berada di bwah pengawasan pemerintah pusat. Terhadap
organisasi semacam ini pada dasarnya diberikan kewenangan semi independen yang
melaksanakan fungsi dan tanggung jawab. Bahkan kadang-kadang berada di luar
ketentuan yang diatur oleh pemerintah pusat, karena bersifat lebih komersial
dan mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokratis dan politis. Hal ini
dilakukan terhadap suatu badan usaha publik yang di tugaskan melaksanakan
proyek tertentu seperti telekomunikasi, listrik, bendungan dan jalan raya.[6]
3.
Devolusi
Devolusi
merupakan bentuk desentralisasi yang lebih ekstentif, yang merujuk pada situasi
dimana pemerintah pusat mentransfer kewenangan untuk pengambilan keputusan,
keuangan dan manajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah. Devolusi adalah
kondisi dimana pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan diluar
pemerinatah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertantu kepada
unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri. Menurut Rondinelli, devolusi
merupakan upaya memperkuat pemerintahan daerah secara legal yang secara subtantif
kegiatan-kegiatan yang dilakukannya di luar kendali lansung pemerintah pusat.
Devolusi dapat berupa transfer tanggung jawab untuk pelayanan kepada pemerintah
kota / kabupaten dalam memilih walikota / bupati dan DPRD, meningkatkan
pendapatan mereka dan memiliki independensi kewenangan untuk mengambil
keputusan investasi. Salah satu contoh devolusi adalah di Sudan dimana komisi
propinsi dan DPRD propinsi mempunyai kewajiban hampir seluruh fungsi-fungsi
publik kecuali keamanan nasional, pos komunikasi, urusan luar negeri, perbankan
dan peradilan.[7]
4.
Privatisasi
Menurut
Rondinelli privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari
pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat, tetapi
dapat pula merupakan peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta.
Misalnya, BUMN dan BUMD dilebur menjadi Perusahaan Terbatas (PT). Dalam
beberapa hal misalnya pemerintah mentransfer beberapa kegiatan kepad Kamar
Dagang dan Industri, Koperasi dan Asosiasi lainnya untuk mengeluarkan
izin-izin, bimbingan dan pengawasan, yang semula dilakukan oleh pemerintah.
Dalam hal kegiatan sosial, pemerintah memberikan kewenangan dan tanggung jawab
kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam hal seperti pembinaan
kesejahteraan keluarga, koperasi petani dan koperasi nelayan untuk melakukan
kegiatan-kegiatan sosial, termasuk melatih dan meningkatkan peran serta
pemberdayaan masyarakat.[8]
5.
Tugas Pembantuan
Tugas
pembantuan (medebewind) merupakan pemberian kemungkinan dari pemerintah
pusat atau pemerintah daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada
pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas
atau urusan rumah tangga dari daerah yang tingkatannya lebih atas. Urusanyang
diserahkan pemerintah pusat/ pemerintah daerah atasan tidak beralih menjadi
urusan rumah tangga daerah yang melaksanakan. Kewenangan yang diberikan kepada
daerah adalah kewenangan yang bersifat mengurus. Sedangkan kewenangan pemerintah
pusat/pemerintah atasannya.
Berdasarkan
uraian diatas tentang desentralisasi, tujuan desentralisasi sebagaimana
dikemukakan oleh Eko Prasodjo dkk., terdiri dari tujuan yan bersifat politis
terkait erat dengan perwujudan demokrasi lokal dan penguatan partisipasi
masyarakat, dan tujuan yang bersifat administratif terkait erat dengan
penciptaan efesiansi dan efektivitas dalam pemerintahan dan pembangunan. Selain
kedua jenis tujuan tersebut , tujuan desentralisasi menurut Smith sebagaimana
dikutip oleh Eko Prasodjo dkk., adalah untuk : a. Pendidikan politik; b.
Latihan kepimpinan politik; c. Stabilitas politik; d. Kesamaan politik; e.
Akuntabilitas; f. Daya tanggap(responsivitas); dan g. Efisiansi dan
efektivitas. [9]
B.
Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang pertama kali mengatur tentang
pemerintahan daerah pasca-proklamasi kemerdekaan adalah UU nomor 1 tahun 1945.
Ditetapkannya undang-undang ini merupakan hasil (resultante) dari
berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan
serta pada masa pemerintahan kolianlisme. Undang-undang ini menekankan pada
aspek cita-cita kedulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan
Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-undang ini ditetapkan 3 (tiga) jenis
daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya
undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun
belum ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai penyerahan urusan
(desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini berumur lebih kurang tiga
tahun karena diganti dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang
susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini di
tetapkan 2 (dua) jenis daerah otonom,
yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3 (tiga) tingkatan
daerah otonom yaitu propinsi, kbupaten/kota besar, dan desa/kota kecil. Mengacu
pada ketentuan Undang-undang Nomor 2 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan
pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian
otonomi kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah ,
telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintah tentang
penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalui ditandai
dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang mengantikan produk
sebelumnya . Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi
pembangunan daerah dari masa ke masa. Tapi di sisi lain hal ini dapat pula
dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan
kekuasaannya. Periaode otonomi daerah Indonesia pasca UU Nomor 22 tahun 1948
diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU nomor 1
tahun 1957 (sebagi perturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh
Indonesia), UU nomor 18 tahun 1965 (yang menganut sistem otonom yang
seluas-luasnya), dan UU Nomor 5 tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Prinsip yang
dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “ otonomi yang riil
dan seluas-luasnya” tetapi “ otonomi yang nyata dan bertanggungjawab”.
Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan
kencenderungan pemikiran yang dapa membahayakan keutuhan Negara Kesatua
Republik Indonesia dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi
kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang
berorientasi pada pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur
paling panjang yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan Undang-undang nomor 22
tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 setelah tuntutan reformasi
dikumandangkan.
Kehadiran Undang-undang
nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada
masa itu, di mana rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak yang
berkehendak untuk melkukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan
bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, Sidang Istimewa MPR tahun 1998
tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, pemanfaatan
sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta pertimbangan keuangan pusat dan
daerah dalam kerangka Negara Kesatua Republik Indonesia. Momentum otonomi
daerah di Indonesia semakin mendapat tempatnya setelah MPR RI melkukan
amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan
eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai rinsip otonomi dan
desentralisasi kekuasaan politik.
Satu hal yang paling menonjol dari pergantian Undang-undang Nomor 5
tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan
mendasar pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi. Perubahan
tersebut dapat diamati dari kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal
demi pasal pada Undang-undang tersebut. Beberapa butir yang terkandung di dalam
kedua Undang-undang tersebut (UU No.22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999)
secara teoritis akan menghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam
Undang-undang nomor 5 tahun 1974 lebih cenderung pada corak dekonsentrasi
sedangkan desentralisasi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 lebih cenderung
pada corak devolusi. Hal ini akan lebih nyata jika dikaitkan dengan kedudukan
kepala daerah. Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1974, kepala daerah
adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan kepajangan tangan dari
pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah, kenyataan
menunjukkan peran sebagai kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas
dekonsentrsi lebih dominan dibanding sebagai kepala daerah. Hal ini
dimungkinkan karena kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui
Menteri Dalam Negeri, dan bukan kepada DPRD sebagai representasi dari rakyat di
daerah yang memilihnya.
Sejalan dengan tututan reformasi, tiga tahun setelah impementasi UU
No. 22 tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap Undang-undang berakhir
pada lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintahan
daerah. Menurut Sadu Wasistiono hal-hal penting yang ada pada UU No. 32 tahun
2004 adalah domonasi kembali eksekutif dan dominasinya pengaturan pemilihan
kepala darah yang bobotnya hampir 25% dari keseluruhan isi UU tersebut (Bab IV
Bagian Delapan mulai pasal 56 – pasal 119).[10]
Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
daerah yang bersifat otonom atau daerah otonom, meliputi 3 daerah, yaitu :
1.
Daerah
provinsi
2.
Daerah
kabupaten
3.
Daerah
kota
Daerah otonom
menganut asas desentralisasi yaitu asas yang menyatakan adanya penyerahan
wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[11]
Menurut
Undang-Undang, otonomi daerah di Indonesia didasarkan pada otonomi yang luas,
nyata, dan bertanggung jawab. Otonomi yang nyata adalah keleluasaan Daerah
untuk mnyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara
nyata ada diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Otonomi
yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang
mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali pada bidang-bidang
tertentu yang masih ditangani dan terpusat oleh pemerintah pusat di Jakarta.
Dengan demikian
kewenangan daerah otonom sangat luas. Pemerintah daerah berwenang mengurus
sendiri kepentingan masyarakatnya. Urusan itu meliputi berbagai bidang,
misalnya :
a.
Pendidikan
b.
Kesejahteraan
c.
Kesehatan
d.
Perumahan
e.
Pertanian
f.
Perdagangan
, dan lain-lain
Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten/kota
banyak sekali. Hal ini Karen provinsi, kabupaten/kota memiliki hak otonomi dari
pemerintah pusat. Pemerintah pusat menyerahkan sebagian wewenangnya kepada
daerah untuk mengurusinya sendiri.
Pemerintah pusat hanya menangani 6 urusan saja, yaitu :
1.
Politik
luar negeri
2.
Pertahanan
3.
Keamanan
4.
Yustisi
5.
Moneter
dan fiskal nasional
6.
Agama
Adapun yang
dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan
petanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada
daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikuloleh daerah. Dalam
mencapai tujuan pemberian otonomi., berupa meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan
masyarakat yang semakin baik, mengembangkan kehidupan demokratis, keadilan dan
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.[12]
C.
Argumentasi dalam Memilih Desentralisasi-Otonomi
Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang
kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintahan dan
politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar pilihan tersebut
sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara empirik ataupun
normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih
desentralsasi-otonomi (Syaukani, et.al.,2002,h.20-30), yaitu :
1.)
Untuk
terciptanya efisiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan
berfungsi sebagai mengelola berbagai dimensi keuangan, politik, integrasi
sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dan lain-lainnya. Selain itu juga
mempunyai fungsi distributif akan hal-hal yang telah diungkapkan, fungsi regulatif
baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa ataupun yang berhubungan dengan
kompetensi dalam rangka pemyediaan tersebut, dan fungsi ektraktif yaitu
memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka membiayai aktifitas
penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, tidaklah mungkin hal itu dapat dilakukan dengan cara yang
sentralistik, dan pemerintah negara menjadi tidak efisien dan tidak akan mampu
menjalankan tugasnya dengan baik.
2.)
Sebagai
sarana pendidikan politik. Pemerintah daerah menyediakan kesempatan bagi warga
masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau
kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik. Merekan yang tidak
mempunyai peluang untuk terliabat dalam politik nasiaonal dan memilih pemimpin
nasional, akan mempunyai peluang untuk ikut serta dalam politik lokal, baik
pemilihan umum lokal ataupun dalam rangka pembuatan kebijakan publik. Dengan
demikian, pendidikan politik pada tingkat lokal sangat bermanfaat bagi warga
masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya.
3.)
Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk
karir politik lanjutan. Adalah suatu hal yang mustahil bagi seseorang untuk
muncul dengan begitu saja menjadi politisi berkaliber nasional dan ataupun
internasional. Keberadaan institusi lokal, terutama pemerintahan daerah
(eksekutif dan legislatif lokal), merupakan wahana yang banyak dimanfaatkan
guna menepa karir politik yang lebih tinggi. Presiden Amerika Serikat seperti
George Bush, Bill Clinton, Ronal Reagan, Jimmy Carter dan lain-lainnya, mereka
sebelumnya adalah Gubernur di negara bagian di mana mereka berasal.
4.)
Stabilitas
politik. Sharpe beragumentasi bahwa stabilitas politik nasional mestinya
berawal dari stabilitas politik tingkat lokal. Terjadi pergolakan daerah pada
tahun 1957-1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA,
karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat
dominan. Gejolak disintegrasi yang terjadi di beberapa daerah merupakan contoh
yang sangat konkrit bagaimana hubungan antara pemerintahan daerah dengan
ketidakstabilan politik kalau pemerintah nasional tidak menjalankan otonomi
dengan tepat.
5.)
Kesetaraan
politik. Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik di
antara berbagai komponen masyarakat akan terwujud. Mengapa demikian? Masyarakat
di tingkat lokal, sebagaimana halnya dengan masyarakat di pusat pemerintahan,
akan mempunyai kesempatan utuk terlibat dalam politik, apakah itu denag melalui
pemberian suara pada waktu pemilihan Kepala Desa, Bupati, Wali Kota, dan bahkan
Gubernur. Disamping itu warga masyarakat baik secara sendiri-sendiri ataupun
yang secara berkelompok akan ikut terlibat dalam mempengaruhi pemerintahannya
untuk membuat kebijakan, terutama yang menyangkut kepentingan mereka.
6.)
Akuntabilitas
publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat, termasuk di
daerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan
negara. Keterlibatan ini sangat dimungkinkan sejak awal tahap pengambilan
keputusan sampai dengan evaluasi. Dengan demikian maka kebijakan yang dibuat
akan dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan karena
masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan.[13]
D.
Kesalahpahaman Terhadap Otonomi Daerah
Beberapa salah paham yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat
terkait dengan kebijakan dan
implementasi otonomi daerah sebagai berikut :
1.
Otonomi
dikaitkan semata-mata dengan uang. Sudah sangat lama berkembang dalam
masyarakat suatu pemahaman yang keliru tentang otonomi Daerah, yaitu berotonomi
Daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam bidang
keuangan. Hal itu muncul karena ada ungkapan yang dimunculkan oleh J. Wayong,
pada tahun 1950-an, bahwa “otonomi identik dengan otomoney.” Ungkapan
seperti ini sama sekali tidak dapat dipertanggung jawabkan secara empiris.
Tidak ada yang menafikan bahwa uang satu-satunya alat dalam menggerakkan roda
pemerintahan. Kata kunci otonomi adalah “kewenangan”. Dengan kewenangan uang
akan dapat dicari, dan dengan itu pula pemerintah, termasuk pemerintah daerah,
harus mampu menggunakan uang dengan bijaksana, tepat guna dan berorientasi
kepada kepentingan masyarakat.
2.
Daerah
belum siap dan belum mampu. Munculnya pandangan merupakan cara berpikir yang
salah karena sebelum otonomi daerah berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999
jo, Undang-undang No. 32 tahun 2004 diterapkan, pemberian tugas kepada
pemerintah Daerah belum diikuti dengan pelimpahan kewenangan dalam mencari uang
dan subsidi dari Pemerintah Pusat. Begitu juga tidak ada alasan untuk tidak
siap dan tidak mampu kerena Pmerintah Daerah sudah terlibat dalam
penyelenggaraan pemerintahan dalam waktu yang sudah sangat lama dan
berpengalaman dalam administrasi pemerintahan.
3.
Dengan
otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan
membina daerah. Pendapat ini sama sekali tidak benar. Teptap menjadi tugas dan
tanggung jawab Peerintah Pusat untuk memberi dukungan dan bantuan kepada
daerah, baik berupa bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintahan kepada
personil yang ada di daerah, ataupun dukungan keuangan. Hal itu sama sekali
tidak mengurangi makna otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan. Otonom
daerah dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 32
tahun 2004 menganut falsafah yang sudah sangat umum dikenal di berbagai negara,
yaitu “No mandate without funding.” Artinya, setiap pemberian kewenangan dari
pemerintah pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup
apakh berbantuk Dana Alokasi Umum, ataupun Dana alokasi Khusus, serta bantuan
keuangan yang lainya, misalnya kalau terjadi bencana alam yang sangat
mengganggu roda perekonomian daerah.
4.
Dengan
otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja. Hakikat otonomi pemberian
kewenangan keadaan pemerintah daerah untuk kreatif dan inovatif dalam rangka
memperkuat negara Kesatuan RI dengan berlandaskan norma kepatutan dan kewajaran
dalam sebuah tata kehidupan bernegara. Daerah dapat menempuh segala bentuk apa
saja sepanjang kebijakan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan
undang-yndang yang berlaku secara nasional. Di samping itu, kepentingan
masyarakat merupakan patokan yang utama dala mengambil kebijakan. Bukan
sebaliknya pemerintah daerah mengambil langkah
kebijakan dengan mengabaikan berbagai aturan dan norma yang barlaku.
5.
Otonomi
daerah akan mencipatakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke
daerah. Pendapat seperti ini dapat dibenarkan kalau para penyelenggara
pemerintahan daerah, masyrakat dan dunia usaha di daerah menempatkan diri dalam
kerangka sistem politik lama yaitu korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala
bentuk penyalah-guanaan kekuasaan yang lainya. Karenanya untuk menghindari
pandangan tersebut, pilar-pilar penergak demokrasi dan masyarakat madani (civil
soceity) seperti Partai Politik, Media Massa, Komosi Pemberantasan Korupsi
(KPK), Komisi Ombusman, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, termasuk LSM/NGO (Corruption
Watch, Parliament Watch, Court Watch, dan lain-lainnya) pada tingkat lokal
dapat memainkan perannya secara optimal.[14]
BAB 3
Penutup
A.
Kesimpulan
v Otonomi Daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan
pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
v Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selslu ditandai
dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang mengantikan produk
sebelumnya. Perubahan tersebut pada suatu sisi menandai dinamika orientasi
pembanguna daerah di Indonesia dari masa ke masa. Tapi di sisi lain hal ini
dapat pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam
menjalankan kekuasaannya.
v Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang
kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintahan dan
politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar pilihan tersebut
sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara empirik ataupun
normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih
desentralsasi-otonomi yaitu : a. Untuk terciptanya efisiensi-efektivitas
penyelenggaraan pemerintahan; b. Sebagai sarana pendidikan politik; c.
Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan; d.
Stabilitas politik; e. Kesetaraan politik; dan f. Akuntabilitas publik.
v Beberapa kesalahpahaman yang muncul dari berbagai kelompok
masyarakat terkait dengan kebijakan dan
implementasi otonomi daerah sebagai berikut : a. Otonomi dikaitkan
semata-mata dengan uang; b. Daerah belum siap dan belum mampu; c. Dengan
otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan
membina daerah; d. Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja; dan
e. Otonomi daerah akan mencipatakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan
korupsi ke daerah.
Daftar Pustaka
Ubaedillah, A.
dan Rozzak, Abdul, 2000. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, dan Masyarakat Madani. Cet. Ke-1, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Rosyada, Dede ,
dkk., 2000.
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah.
Winarno, 2007. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta:
Bumi Aksara.
[1] A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.170
[2] Dede Rosyada, dkk.” Demokrasi, Hak Asasi
Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000),
hal.150-151
[4] A.
Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN
Syarif Hidayatullah, 2000), hal.170-171
[6] A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.178
[7] A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.179
[9] A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.181
[10] Dede
Rosyada, dkk.” Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta:
ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.186-188
[13] Dede Rosyada, dkk.” Demokrasi, Hak
Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif
Hidayatullah, 2000), hal.154-156
[14] A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat
Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.197-199
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus