Rabu, 25 November 2015

Makalah Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI

Otonomi Daerah dalam Kerangka NKRI
Makalah ini dibuat untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan tahun ajaran 2014/2015

Disusun oleh kelompok VII / TB.A :
1
Rofiq Nasrulloh Rahmadi
210314007
(Moderator)
2
Nadzir Mahlazzaman
210314015
(Pemateri)
3
Yusuf Eko Dariyanto
210314034
(Notulen)

Dosen pengampu : Dr. Waris

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) PONOROGO
NOPEMBER 2014


Kata Pengantar
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT. Yang dengan rahmat, taufik, hidayah, serta inayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Otonomi Daerah” dengan lancar.
Sholawat dan salam tetap terlimpahkan kepada nabi Muhammad SAW, yang telah menuntun kita dari jaman jahiliyah menuju jaman islamiyah yang penuh berkah ini.
Dengan selesainya makalah ini saya mengucapkan terim kasih kepada :
1.      Drs. Waris selaku dosen mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan
2.      Kepada teman-teman, khususnya kelas TB.A yang berbahagia atas partisipasi dan dukungannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Dengan membaca makalah ini semoga kita dapat lebih paham tentang sistem pemerintahan di Indonesia khususnya otonomi daerah. Kepada para pembaca kami sangat mengharap teguran maupun tambahan untuk perbaikan makalah ini di kemudian hari.
    Wassalamu’alaikum wr. Wb.


  Ponorogo,   Desember  2014
   Penyusun

                                                            Kelompok VII TB.A

BAB 1
Pendahuluan

A.    Latar Belakang Masalah
Sudah lama negara Indonesia merdeka, tepatnya sudah 69 tahun yang lalu proklamasi kemerdekaan dikumandangkan. Sejak saat itu Indonesia tidak lagi sebagai negara jajahan, namun merupakan negara merdeka, negara yang mempunyai cita-cita sendiri dan akan berusaha sendiri untuk mewujudkannya.
Negara Indonesia Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik dengan kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh satu orang yaitu presiden. Dalam tugasnya presiden dibantu oleh wakil presiden serta menteri-menteri. Namun hal ini terasa kurang efektif, karena negara Indonesia memiliki wilayah yang luas yang berbentuk kepulauan. Warga negaranya adalah gabungan dari berbagai suku mulai dari Sabang sampai Merauke. Tentu hal ini menyulitkan dalam setiap membuat kebijakan. Belum tentu kebijakan yang diterima suatu daerah dapat di terima daerah lain. Maka dari itu disamping dibantu oleh wakil dan menteri-menteri, presiden juga dibantu oleh kepala-kepala daerah. Kepala-kepala daerah inilah yang menjadi ujung tombak sebagai pelayan publik dan yang mengetahui persis seperti apa kebijakan seharusnya dibuat untuk daerahnya. Hal inilah yang kemudian disebut otonomi daerah.
Sistem otonomi daerah ini memang meniru sistem Desentralisasi yang diterapkan oleh Amerika Serikat dalam menyatukan negara negara bagiannya. Otonomi daerah dengan Desentralisasi sendiri memang berbeda tapi memiliki inti yang sama, yaitu memberi pelayanan publik sesuai daerahnya.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah  pengertian otonomi daerah?
2.      Bagaimana sejarah otonomi di Indonesia?
3.      Apakah argumen dalam memilih Desentralisasi-otonomi?
4.      Bagaimana kesalahpahaman terhadap otonomi daerah?

BAB 2
Pembahasan

A.    Pengertian Otonomi Daerah
Istilah Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintah sering digunakan secara campur baur (interchangeably). Sekalipun secara teoritis kedua konsep ini dapat dipisahkan, namun secara praktis kedua konsep ini sukar dipisahkan. Bahkan menurut banyak kalangan otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenanagan kepada organ-organ penyelenggara Negara, sedangkan otonomi menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut. Dewasa ini hampir setiap Negara bangsa (nation state) menganut desentralisasi sebagai suatu asas dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Desentralisasi sebagaimana didefinisikan perserikatan bangsa sangsa (PBB) adalah:
Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibukota Negara  baik melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada penjabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan di daerah.” [1]



Batasan ini hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pusat kepada daerah tapi belum menjelaskan isi dan keluasan kewenangan serta konsekuensi penyerahan kewenangan itu bagi badan-badan otonomi daerah.
Menurut M. Turner dan D. Hulme (dalam Teguh Wahyono,ed., 2001, h. 27) berpandangan bahwa yang dimaksud dengan desentralisasi adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada public dari seorang atau agen pemerintah pusat pada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada public yang dilayani. Transfer kewenangan secara fusngsional ini memiliki tiga tipe : Pertama  apabila pendelegasian kewenangan itu didalam setruktur politik formal misalnya, dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah; Kedua, jika transfer itu terjadi dalam struktur administrasi publik, misalnya, dari kantor pusat sebuah kementrian kepada kantor kementrian yang ada di daerah; Ketiga, jika transfer tersebut dari institusi Negara kepada agen Negara, misalnya penjualan asset pelanyanan public seperti telepon atau penerbangan kepada sebuah perusahaan.[2]
Rondinelli mendevinisikan desentralisasi sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan, menajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen agennya kepada unit kementrian pemerintah pusat, unit yang ada di bawah level pemerintah, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemerintah dan organisai nirlaba (Teguh Yuwono, ed. , 2001, h.28)[3]

Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri”. Sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai “berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika derah sudah mampu mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri[4].
Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu (1) deconcentration,(2) delegation to semi-autonomous and parastatal agencies,(3)devolution to local governments,dan (4) nongovernment institutions(privatization). Dalam kontek Indonesia dikenal bentuk tugas pembantuan.

1.      Dekonsentrasi
Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi (deconsentration), menurut Rondinelli, pada hakikatnya hanya merupakan pembagian kewenangan dan tanggung jawab administratif antara pemerintah (departemen) pusat dengan pejabat birokrasi pusat di lapangan. Jadi, dekonsentrasi hanya berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilanya yang ada di daerah, tanpa adanya penyerahan atau pelimpahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau kelelusaan untuk membuat keputusan.[5]

2.      Delegasi
Delegation to semi autonomous sebagai bentuk kedua desentralisasi yang disebutkan oleh rondinelli adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial. Untuk melakukan tugas tugas khusus pada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bwah pengawasan pemerintah pusat. Terhadap organisasi semacam ini pada dasarnya diberikan kewenangan semi independen yang melaksanakan fungsi dan tanggung jawab. Bahkan kadang-kadang berada di luar ketentuan yang diatur oleh pemerintah pusat, karena bersifat lebih komersial dan mengutamakan efisiensi daripada prosedur birokratis dan politis. Hal ini dilakukan terhadap suatu badan usaha publik yang di tugaskan melaksanakan proyek tertentu seperti telekomunikasi, listrik, bendungan dan jalan raya.[6]
3.      Devolusi
Devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang lebih ekstentif, yang merujuk pada situasi dimana pemerintah pusat mentransfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan dan manajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah. Devolusi adalah kondisi dimana pemerintah pusat membentuk unit-unit pemerintahan diluar pemerinatah pusat dengan menyerahkan sebagian fungsi-fungsi tertantu kepada unit-unit itu untuk dilaksanakan secara mandiri. Menurut Rondinelli, devolusi merupakan upaya memperkuat pemerintahan daerah secara legal yang secara subtantif kegiatan-kegiatan yang dilakukannya di luar kendali lansung pemerintah pusat. Devolusi dapat berupa transfer tanggung jawab untuk pelayanan kepada pemerintah kota / kabupaten dalam memilih walikota / bupati dan DPRD, meningkatkan pendapatan mereka dan memiliki independensi kewenangan untuk mengambil keputusan investasi. Salah satu contoh devolusi adalah di Sudan dimana komisi propinsi dan DPRD propinsi mempunyai kewajiban hampir seluruh fungsi-fungsi publik kecuali keamanan nasional, pos komunikasi, urusan luar negeri, perbankan dan peradilan.[7]
4.      Privatisasi
Menurut Rondinelli privatisasi adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat, tetapi dapat pula merupakan peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta. Misalnya, BUMN dan BUMD dilebur menjadi Perusahaan Terbatas (PT). Dalam beberapa hal misalnya pemerintah mentransfer beberapa kegiatan kepad Kamar Dagang dan Industri, Koperasi dan Asosiasi lainnya untuk mengeluarkan izin-izin, bimbingan dan pengawasan, yang semula dilakukan oleh pemerintah. Dalam hal kegiatan sosial, pemerintah memberikan kewenangan dan tanggung jawab kepada Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dalam hal seperti pembinaan kesejahteraan keluarga, koperasi petani dan koperasi nelayan untuk melakukan kegiatan-kegiatan sosial, termasuk melatih dan meningkatkan peran serta pemberdayaan masyarakat.[8]
5.      Tugas Pembantuan
Tugas pembantuan (medebewind) merupakan pemberian kemungkinan dari pemerintah pusat atau pemerintah daerah yang lebih atas untuk meminta bantuan kepada pemerintah daerah yang tingkatannya lebih rendah agar menyelenggarakan tugas atau urusan rumah tangga dari daerah yang tingkatannya lebih atas. Urusanyang diserahkan pemerintah pusat/ pemerintah daerah atasan tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah yang melaksanakan. Kewenangan yang diberikan kepada daerah adalah kewenangan yang bersifat mengurus. Sedangkan kewenangan pemerintah pusat/pemerintah atasannya.
Berdasarkan uraian diatas tentang desentralisasi, tujuan desentralisasi sebagaimana dikemukakan oleh Eko Prasodjo dkk., terdiri dari tujuan yan bersifat politis terkait erat dengan perwujudan demokrasi lokal dan penguatan partisipasi masyarakat, dan tujuan yang bersifat administratif terkait erat dengan penciptaan efesiansi dan efektivitas dalam pemerintahan dan pembangunan. Selain kedua jenis tujuan tersebut , tujuan desentralisasi menurut Smith sebagaimana dikutip oleh Eko Prasodjo dkk., adalah untuk : a. Pendidikan politik; b. Latihan kepimpinan politik; c. Stabilitas politik; d. Kesamaan politik; e. Akuntabilitas; f. Daya tanggap(responsivitas); dan g. Efisiansi dan efektivitas. [9]

B.     Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia
Peraturan perundang-undangan yang pertama kali mengatur tentang pemerintahan daerah pasca-proklamasi kemerdekaan adalah UU nomor 1 tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini merupakan hasil (resultante) dari berbagai pertimbangan tentang sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan serta pada masa pemerintahan kolianlisme. Undang-undang ini menekankan pada aspek cita-cita kedulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam Undang-undang ini ditetapkan 3 (tiga) jenis daerah otonom, yaitu karesidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun belum ada peraturan pemerintah yang mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini berumur lebih kurang tiga tahun karena diganti dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.
Undang-undang Nomor 22 tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini di tetapkan  2 (dua) jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3 (tiga) tingkatan daerah otonom yaitu propinsi, kbupaten/kota besar, dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-undang Nomor 2 tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah , telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemerintah tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalui ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang mengantikan produk sebelumnya . Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah dari masa ke masa. Tapi di sisi lain hal ini dapat pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya. Periaode otonomi daerah Indonesia pasca UU Nomor 22 tahun 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah yaitu UU nomor 1 tahun 1957 (sebagi perturan tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU nomor 18 tahun 1965 (yang menganut sistem otonom yang seluas-luasnya), dan UU Nomor 5 tahun 1974.
UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas Pemerintah Pusat di daerah. Prinsip yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “ otonomi yang riil dan seluas-luasnya” tetapi “ otonomi yang nyata dan bertanggungjawab”. Alasannya, pandangan otonomi daerah yang seluas-luasnya dapat menimbulkan kencenderungan pemikiran yang dapa membahayakan keutuhan Negara Kesatua Republik Indonesia dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah sesuai dengan prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang yaitu 25 tahun, dan baru diganti dengan Undang-undang nomor 22 tahun 1999 dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 setelah tuntutan reformasi dikumandangkan.
Kehadiran  Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu, di mana rezim otoriter orde baru lengser dan semua pihak yang berkehendak untuk melkukan reformasi di semua aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, Sidang Istimewa MPR tahun 1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah; pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatua Republik Indonesia. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapat tempatnya setelah MPR RI melkukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai rinsip otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.
Satu hal yang paling menonjol dari pergantian Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 dengan Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 adalah adanya perubahan mendasar pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi. Perubahan tersebut dapat diamati dari kandungan materi yang tertuang dalam rumusan pasal demi pasal pada Undang-undang tersebut. Beberapa butir yang terkandung di dalam kedua Undang-undang tersebut (UU No.22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999) secara teoritis akan menghasilkan suatu kesimpulan bahwa desentralisasi dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1974 lebih cenderung pada corak dekonsentrasi sedangkan desentralisasi dalam Undang-undang nomor 22 tahun 1999 lebih cenderung pada corak devolusi. Hal ini akan lebih nyata jika dikaitkan dengan kedudukan kepala daerah. Berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1974, kepala daerah adalah sekaligus kepala wilayah yang merupakan kepajangan tangan dari pemerintah. Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah, kenyataan menunjukkan peran sebagai kepala wilayah yang melaksanakan tugas-tugas dekonsentrsi lebih dominan dibanding sebagai kepala daerah. Hal ini dimungkinkan karena kepala daerah bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan bukan kepada DPRD sebagai representasi dari rakyat di daerah yang memilihnya.
Sejalan dengan tututan reformasi, tiga tahun setelah impementasi UU No. 22 tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap Undang-undang berakhir pada lahirnya UU No. 32 tahun 2004 yang juga mengatur tentang pemerintahan daerah. Menurut Sadu Wasistiono hal-hal penting yang ada pada UU No. 32 tahun 2004 adalah domonasi kembali eksekutif dan dominasinya pengaturan pemilihan kepala darah yang bobotnya hampir 25% dari keseluruhan isi UU tersebut (Bab IV Bagian Delapan mulai pasal 56 – pasal 119).[10]
Menurut Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah yang bersifat otonom atau daerah otonom, meliputi 3 daerah, yaitu :
1.      Daerah provinsi
2.      Daerah kabupaten
3.      Daerah kota
Daerah otonom menganut asas desentralisasi yaitu asas yang menyatakan adanya penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.[11]
Menurut Undang-Undang, otonomi daerah di Indonesia didasarkan pada otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab. Otonomi yang nyata adalah keleluasaan Daerah untuk mnyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada diperlukan serta tumbuh, hidup, dan berkembang di daerah. Otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali pada bidang-bidang tertentu yang masih ditangani dan terpusat oleh pemerintah pusat di Jakarta.
Dengan demikian kewenangan daerah otonom sangat luas. Pemerintah daerah berwenang mengurus sendiri kepentingan masyarakatnya. Urusan itu meliputi berbagai bidang, misalnya :
a.       Pendidikan
b.      Kesejahteraan
c.       Kesehatan
d.      Perumahan
e.       Pertanian
f.       Perdagangan , dan lain-lain
Urusan yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi, kabupaten/kota banyak sekali. Hal ini Karen provinsi, kabupaten/kota memiliki hak otonomi dari pemerintah pusat. Pemerintah pusat menyerahkan sebagian wewenangnya kepada daerah untuk mengurusinya sendiri.
Pemerintah pusat hanya menangani 6 urusan saja, yaitu :
1.      Politik luar negeri
2.      Pertahanan
3.      Keamanan
4.      Yustisi
5.      Moneter dan fiskal nasional
6.      Agama
Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan petanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikuloleh daerah. Dalam mencapai tujuan pemberian otonomi., berupa meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, mengembangkan kehidupan demokratis, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[12]
C.    Argumentasi dalam Memilih Desentralisasi-Otonomi
Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara empirik ataupun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralsasi-otonomi (Syaukani, et.al.,2002,h.20-30), yaitu :
1.)    Untuk terciptanya efisiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintahan berfungsi sebagai mengelola berbagai dimensi keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri, dan lain-lainnya. Selain itu juga mempunyai fungsi distributif akan hal-hal yang telah diungkapkan, fungsi regulatif baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa ataupun yang berhubungan dengan kompetensi dalam rangka pemyediaan tersebut, dan fungsi ektraktif yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam rangka membiayai aktifitas penyelenggaraan negara. Oleh karena itu, tidaklah mungkin  hal itu dapat dilakukan dengan cara yang sentralistik, dan pemerintah negara menjadi tidak efisien dan tidak akan mampu menjalankan tugasnya dengan baik.
2.)    Sebagai sarana pendidikan politik. Pemerintah daerah menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik. Merekan yang tidak mempunyai peluang untuk terliabat dalam politik nasiaonal dan memilih pemimpin nasional, akan mempunyai peluang untuk ikut serta dalam politik lokal, baik pemilihan umum lokal ataupun dalam rangka pembuatan kebijakan publik. Dengan demikian, pendidikan politik pada tingkat lokal sangat bermanfaat bagi warga masyarakat untuk menentukan pilihan politiknya.
3.)     Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. Adalah suatu hal yang mustahil bagi seseorang untuk muncul dengan begitu saja menjadi politisi berkaliber nasional dan ataupun internasional. Keberadaan institusi lokal, terutama pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif lokal), merupakan wahana yang banyak dimanfaatkan guna menepa karir politik yang lebih tinggi. Presiden Amerika Serikat seperti George Bush, Bill Clinton, Ronal Reagan, Jimmy Carter dan lain-lainnya, mereka sebelumnya adalah Gubernur di negara bagian di mana mereka berasal.
4.)    Stabilitas politik. Sharpe beragumentasi bahwa stabilitas politik nasional mestinya berawal dari stabilitas politik tingkat lokal. Terjadi pergolakan daerah pada tahun 1957-1958 dengan puncaknya adalah kehadiran dari PRRI dan PERMESTA, karena daerah melihat kenyataan kekuasaan pemerintah Jakarta yang sangat dominan. Gejolak disintegrasi yang terjadi di beberapa daerah merupakan contoh yang sangat konkrit bagaimana hubungan antara pemerintahan daerah dengan ketidakstabilan politik kalau pemerintah nasional tidak menjalankan otonomi dengan tepat.
5.)    Kesetaraan politik. Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik di antara berbagai komponen masyarakat akan terwujud. Mengapa demikian? Masyarakat di tingkat lokal, sebagaimana halnya dengan masyarakat di pusat pemerintahan, akan mempunyai kesempatan utuk terlibat dalam politik, apakah itu denag melalui pemberian suara pada waktu pemilihan Kepala Desa, Bupati, Wali Kota, dan bahkan Gubernur. Disamping itu warga masyarakat baik secara sendiri-sendiri ataupun yang secara berkelompok akan ikut terlibat dalam mempengaruhi pemerintahannya untuk membuat kebijakan, terutama yang menyangkut kepentingan mereka.
6.)    Akuntabilitas publik. Demokrasi memberikan ruang dan peluang kepada masyarakat, termasuk di daerah, untuk berpartisipasi dalam segala bentuk kegiatan penyelenggaraan negara. Keterlibatan ini sangat dimungkinkan sejak awal tahap pengambilan keputusan sampai dengan evaluasi. Dengan demikian maka kebijakan yang dibuat akan dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan karena masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintahan.[13]
D.    Kesalahpahaman Terhadap Otonomi Daerah
Beberapa salah paham yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat terkait  dengan kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut :
1.      Otonomi dikaitkan semata-mata dengan uang. Sudah sangat lama berkembang dalam masyarakat suatu pemahaman yang keliru tentang otonomi Daerah, yaitu berotonomi Daerah harus mencukupi sendiri segala kebutuhannya, terutama dalam bidang keuangan. Hal itu muncul karena ada ungkapan yang dimunculkan oleh J. Wayong, pada tahun 1950-an, bahwa “otonomi identik dengan otomoney.” Ungkapan seperti ini sama sekali tidak dapat dipertanggung jawabkan secara empiris. Tidak ada yang menafikan bahwa uang satu-satunya alat dalam menggerakkan roda pemerintahan. Kata kunci otonomi adalah “kewenangan”. Dengan kewenangan uang akan dapat dicari, dan dengan itu pula pemerintah, termasuk pemerintah daerah, harus mampu menggunakan uang dengan bijaksana, tepat guna dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat.
2.      Daerah belum siap dan belum mampu. Munculnya pandangan merupakan cara berpikir yang salah karena sebelum otonomi daerah berdasarkan Undang-undang No. 22 tahun 1999 jo, Undang-undang No. 32 tahun 2004 diterapkan, pemberian tugas kepada pemerintah Daerah belum diikuti dengan pelimpahan kewenangan dalam mencari uang dan subsidi dari Pemerintah Pusat. Begitu juga tidak ada alasan untuk tidak siap dan tidak mampu kerena Pmerintah Daerah sudah terlibat dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam waktu yang sudah sangat lama dan berpengalaman dalam administrasi pemerintahan.
3.      Dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan membina daerah. Pendapat ini sama sekali tidak benar. Teptap menjadi tugas dan tanggung jawab Peerintah Pusat untuk memberi dukungan dan bantuan kepada daerah, baik berupa bimbingan teknis penyelenggaraan pemerintahan kepada personil yang ada di daerah, ataupun dukungan keuangan. Hal itu sama sekali tidak mengurangi makna otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan. Otonom daerah dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999 jo. Undang-undang No. 32 tahun 2004 menganut falsafah yang sudah sangat umum dikenal di berbagai negara, yaitu “No mandate without funding.” Artinya, setiap pemberian kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah harus disertai dengan dana yang jelas dan cukup apakh berbantuk Dana Alokasi Umum, ataupun Dana alokasi Khusus, serta bantuan keuangan yang lainya, misalnya kalau terjadi bencana alam yang sangat mengganggu roda perekonomian daerah.
4.      Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja. Hakikat otonomi pemberian kewenangan keadaan pemerintah daerah untuk kreatif dan inovatif dalam rangka memperkuat negara Kesatuan RI dengan berlandaskan norma kepatutan dan kewajaran dalam sebuah tata kehidupan bernegara. Daerah dapat menempuh segala bentuk apa saja sepanjang kebijakan tidak bertentangan dengan ketentuan hukum dan undang-yndang yang berlaku secara nasional. Di samping itu, kepentingan masyarakat merupakan patokan yang utama dala mengambil kebijakan. Bukan sebaliknya pemerintah daerah mengambil langkah  kebijakan dengan mengabaikan berbagai aturan dan norma yang barlaku.
5.      Otonomi daerah akan mencipatakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah. Pendapat seperti ini dapat dibenarkan kalau para penyelenggara pemerintahan daerah, masyrakat dan dunia usaha di daerah menempatkan diri dalam kerangka sistem politik lama yaitu korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk penyalah-guanaan kekuasaan yang lainya. Karenanya untuk menghindari pandangan tersebut, pilar-pilar penergak demokrasi dan masyarakat madani (civil soceity) seperti Partai Politik, Media Massa, Komosi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Ombusman, Komisi Kepolisian, Komisi Kejaksaan, termasuk LSM/NGO (Corruption Watch, Parliament Watch, Court Watch, dan lain-lainnya) pada tingkat lokal dapat memainkan perannya secara optimal.[14]

BAB 3
Penutup
A.    Kesimpulan
v  Otonomi Daerah adalah kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.

v  Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selslu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang mengantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada suatu sisi menandai dinamika orientasi pembanguna daerah di Indonesia dari masa ke masa. Tapi di sisi lain hal ini dapat pula dipahami sebagai bagian dari “eksperimen politik” penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.

v  Pilihan terhadap desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggungjawabkan baik secara empirik ataupun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralsasi-otonomi yaitu : a. Untuk terciptanya efisiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan; b. Sebagai sarana pendidikan politik; c. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan; d. Stabilitas politik; e. Kesetaraan politik; dan f. Akuntabilitas publik.


v  Beberapa kesalahpahaman yang muncul dari berbagai kelompok masyarakat terkait  dengan kebijakan dan implementasi otonomi daerah sebagai berikut : a. Otonomi dikaitkan semata-mata dengan uang; b. Daerah belum siap dan belum mampu; c. Dengan otonomi daerah maka pusat akan melepaskan tanggung jawabnya untuk membantu dan membina daerah; d. Dengan otonomi maka daerah dapat melakukan apa saja; dan e. Otonomi daerah akan mencipatakan raja-raja kecil di daerah dan memindahkan korupsi ke daerah.

Daftar Pustaka

Ubaedillah, A. dan Rozzak, Abdul, 2000. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Cet. Ke-1, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah.

Rosyada, Dede , dkk., 2000. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah.

Winarno, 2007. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Bumi Aksara.






[1]        A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.170   
[2]         Dede Rosyada, dkk.” Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.150-151
[3]            Ibid.,hal.151
[4]           A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.170-171
[5]         Ibid.,hal.177
[6]         A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.178   
[7]         A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.179
[8]         Ibid.,hal.180
[9]         A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.181
[10]             Dede Rosyada, dkk.” Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.186-188
[11]             Winarno,”Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan”,(Jakarta:Bumi Aksara,2007)hal.167 
[12]          Winarno,”Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan”,(Jakarta:Bumi Aksara,2007),hal.168-169 
[13]        Dede Rosyada, dkk.” Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.154-156
[14]        A. Ubaedillah dan Abdul Rozzak.”Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani”(Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000), hal.197-199

1 komentar: